Mengenai Saya

Foto saya
Natural and normality

Kamis, 03 September 2009

KONTEKSTUALISME DALAM ARSITEKTUR


(by sebastian)

A. Konsep Arsitektur Kontekstualisme

Konsep kontekstualisme dalam arsitektur mempunyai arti merancang sesuai dengan konteks yaitu merancang bangunan dengan menyediakan visualisasi yang cukup antara bangunan yang sudah ada dengan bangunan baru untuk menciptakan suatu efek yang kohesif (menyatu). Rancangan bangunan baru harus mampu memperkuat dan mengembangkan karakteristik dari penataan lingkungan, atau setidaknya mempertahankan pola yang sudah ada. Suatu bangunan harus mengikuti langgam dari lingkungannya agar dapat menyesuaikan diri dengan konteksnya dan memiliki kesatuan visual dengan lingkungan tersebut dan memiliki karakteristik yang sama. Desain yang kontekstual merupakan alat pengembangan yang bermanfaat karena memungkinkan bangunan yang dimaksud untuk dapat dipertahankan dalam konteks yang baik.
Arsitektur Kontekstual dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu:
1) Contras (kontras/berbeda)
Kontras sangat berguna dalam menciptakan lingkungan urban yang hidup dan menarik, namun yang perlu diingat bahwa kontras dapat dianalogikan sebagai bumbu yang kuat dalam makanan yang harus dipakai dalam takaran secukupnya dan hati-hati. Kontras menjadi salah satu strategi desain yang paling berpengaruh bagi seorang perancang. Apabila diaplikasikan dengan baik dapat menjadi fokus dan citra aksen pada suatu area kota. Sebaliknya jika diaplikasikan dengan cara yang salah atau sembarangan, maka akan dapat merusak dan menimbulkan kekacauan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Brent C. Brolin, bahwasanya kontras bangunan modern dan kuno bisa merupakan sebuah harmoni, namun ia mengingatkan bila terlalu banyak ”shock effect” yang timbul sebagai akibat kontras, maka efektifitas yang dikehendaki akan menurun sehingga yang muncul adalah chaos.
2) Harmony (harmoni/selaras)
Ada kalanya suatu lingkungan menuntut keserasian/keselarasan, hal tersebut dilakukan dalam rangka menjaga keselarasan dengan lingkungan yang sudah ada. Bangunan baru lebih menghargai dan memperhatikan konteks/lingkungan dimana bangunan itu berada, kemudian bersama-sama dengan bangunan yang sudah ada atau lingkungan yang ada menjaga dan melestarikan “tradisi” yang telah berlaku sejak dulu. Sehingga kehadiran satu atau sekelompok bangunan baru lebih menunjang daripada menyaingi karakter bangunan yang sudah ada walaupun terlihat dominan (secara kuantitas).
Kontekstualisme dapat pula dianggap sebagai teknik mendesain yang dikembangkan untuk dapat memberikan jawaban khususnya atas kondisi-kondisi yang bersifat morfologis, tipologis, pragmatis menjadi bersifat pluralistic dan fleksibel, serta bukan dogmatis rasional ataupun terlalu berorientasi kepada kaidah-kaidah yang terlalu universal.

B. Prinsip Kontekstualisme dalam Arsitektur
Kontekstualisme dalam arsitektur pada hakekatnya adalah persoalan keserasian dan kesinambungan visual, memori dan makna dari urban fabric. Prinsip kontekstualisme dalam arsitektur adalah adanya pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan selalu merupakan bagian fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas.
Pada saat ini prinsip-prinsip yang sesuai untuk masa yang akan datang baru mulai muncul dengan jelas. Manifesto Modern sebagai naskah/tulisan yang sering dipakai untuk mengumumkan daftar prinsip Modern dengan suara keras lebih sensitif pada situasinya. Pendekatan dan pemikiran arsitektural yang sesuai untuk suatu situasi tertentu mungkin tidak sesuai digunakan untuk situasi yang lain. Arsitektur Modern tidak langsung dibuang ke dalam sampah, bahkan masih sangat penting sebagai prinsip yang paling sesuai untuk jalan Jendral Sudirman di Jakarta Pusat lain dari bahasa arsitektural yang sesuai dengan kawasan Keraton Surakarta.
Hal ini merupakan prinsip pokok kontekstualisme yang menjadi salah satu unsur terpenting dalam agenda pasca Modern yang sedang timbul, tapi bukan hanya soal gaya yang terpilih. Generasi baru arsitektur barat telah jenuh membicarakan mengenai gaya arsitektur, yang sedang dicari adalah cara untuk membuatkan jati diri kepada masyarakat serta menawarkan sumbangan nilai-nilai hidup.

C. Kedudukan Arsitektur Kontekstualisme dalam Post-Modern Arsitektur
Selama rentang waktu tahun 1960 sampai 1970-an, perbincangan tentang postmodernisme mulai masuk ke dunia arsitektur. Diruntuhkannya bangunan perumahan Pruitt Igoe, St. Louis, Missouri, yang memiliki karakter arsitektur modern (arus arsitektur International Style yang dipelopori Mies van der Rohe) menandai lahirnya pemikiran arsitektur postmodernisme. Arsitektur postmodern membawa tiga prinsip dasar yakni: kontekstualisme, allusionisme dan ornamental. Prinsip kontekstualisme berarti adanya pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan selalu merupakan bagian fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas. Prinsip allusionisme berarti adanya keyakinan bahwa arsitektur selalu merupakan tanggapan terhadap sejarah dan kebudayaan. Sementara prinsip ornamental berarti pengakuan bahwa bangunan merupakan media pengungkapan makna-makna arsitektural.
Adalah Robert Venturi, arsitek sekaligus teoritisi awal konsep arsitektur postmodern, dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architecture (1966), yang mulai membuka pembicaraan konsep arsitektur postmodern. Ia memaparkan bahwa arsitektur postmodern adalah konsepsi teoritis arsitektur yang memiliki beberapa karakter. Menurutnya, arsitektur postmodern lebih mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang yang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal) (Bertens, 1995: 54).
Sementara itu Charles Jencks, yang diakui sebagai mahaguru arsitektur postmodern, dalam bukunya The Language of Postmodern Architecture (1977), menyebut beberapa atribut konsep arsitektur postmodern. Beberapa atribut tersebut adalah metafora, historisitas, ekletisisme, regionalisme, adhocism, semantik, perbedaan gaya, pluralisme, sensitivisme, ironisme, parodi dan tradisionalisme (Bertens, 1995: 58). Lebih lanjut arsitektur postmodern, menurut Jencks juga memiliki sifat-sifat hibrida, kompleks, terbuka, kolase, ornamental, simbolis dan humoris. Jencks juga menyatakan bahwa konsep arsitektur postmodern ditandai oleh suatu ciri yang disebutnya double coding. Double coding adalah prinsip arsitektur postmodern yang memuat tanda, kode dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi bangunan. Arsitektur postmodern yang menerapkan prinsip double coding selalu merupakan campuran ekletis antara tradisional/modern, populer/tinggi, Barat/Timur, atau sederhana/complicated.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar